
Semarapura, 17 Juni 2025
Pukul 12.00 Wita
Wacana mengenai keistimewaan daerah bukanlah hal baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejak era awal kemerdekaan hingga reformasi, konsep otonomi daerah kerap dijadikan sarana untuk mengakomodasi keragaman identitas, budaya, dan sejarah di berbagai wilayah. Namun dalam praktik kontemporer, banyak pihak menilai bahwa otonomi daerah telah mengalami degradasi esensial.
Dalam konteks tersebut, Bali sebagai salah satu provinsi yang memiliki kekhasan budaya, spiritualitas, dan kelembagaan adat yang kuat, semakin mendesak untuk memperoleh pengakuan dalam bentuk status daerah istimewa. Pengakuan ini tidak sekadar simbolis, melainkan harus bersifat substantif dan operasional.
Bali bukan hanya sebuah provinsi administratif, melainkan entitas budaya yang hidup dan berkembang di atas fondasi adat dan agama Hindu Bali. Desa adat sebagai struktur sosial dan spiritual memiliki otoritas tersendiri yang tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia.
Saat ini, peraturan perundang-undangan nasional cenderung menyamaratakan perlakuan terhadap daerah, bahkan dalam banyak hal mempersempit ruang otonomi daerah melalui intervensi regulatif pusat. Dalam konteks itu, urgensi status keistimewaan bagi Bali menjadi makin relevan.
Konstitusi Indonesia melalui Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Hal ini membuka ruang legal-formal untuk mewujudkan keistimewaan Bali.
Daerah seperti Yogyakarta telah lama menjadi preseden dalam penerapan keistimewaan, baik dalam tata kelola pemerintahan, pengelolaan budaya, maupun struktur kelembagaan. Bali pun semestinya mendapatkan pengakuan serupa dengan justifikasi yang kuat dan berbasis historis-sosiologis.
Desa adat di Bali bukan sekadar instrumen lokal, tetapi merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang berfungsi dalam menjaga tatanan sosial, budaya, dan religius masyarakat Bali. Desa adat memiliki aturan hukum (awig-awig), sistem kepemimpinan, dan legitimasi sosial.
Fungsi desa adat juga meliputi pengaturan sumber daya, pelestarian lingkungan, pelaksanaan upacara keagamaan, dan penegakan nilai-nilai moral kolektif. Keberlanjutan Bali sangat tergantung pada kekokohan desa adat.
Saat ini terdapat lebih dari 1.400 desa adat di Bali yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Jumlah ini jauh lebih banyak dari jumlah desa administratif, yang menegaskan bahwa struktur desa adat lebih mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Namun, status desa adat dalam kerangka hukum nasional belum sepenuhnya memiliki legitimasi konstitusional yang kuat. Hal ini memicu ketimpangan dalam pengelolaan anggaran, kewenangan pengaturan, serta representasi politik.
Perlu ada kebijakan afirmatif yang mengakui desa adat sebagai entitas resmi dengan kekuasaan setara. Status keistimewaan Bali harus menjamin kedudukan hukum desa adat dan meletakkannya dalam posisi sentral dalam tata kelola provinsi.
Bali menghadapi tantangan globalisasi, pariwisata massal, dan tekanan komersialisasi budaya yang terus meningkat. Tanpa kerangka perlindungan khusus, identitas budaya Bali sangat rentan terhadap degradasi.
Pengakuan sebagai daerah istimewa akan memberikan ruang regulatif bagi Bali untuk merumuskan kebijakan sendiri dalam hal pelestarian budaya, pendidikan lokal, pengelolaan pariwisata, serta tata ruang yang berbasis nilai-nilai sakral.
Di tengah kecenderungan sentralisasi kekuasaan pasca-reformasi melalui regulasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, ruang otonomi menjadi makin sempit. Daerah yang tidak memiliki status khusus akan terus terjebak dalam logika komando vertikal.
Bali membutuhkan kerangka hukum khusus agar tidak terus-menerus diperlakukan seperti daerah lain yang tidak memiliki sensitivitas kultural dan spiritualitas yang khas. Ini adalah soal pengakuan terhadap realitas sosial, bukan sekadar administratif.
Agenda menjadikan Bali sebagai daerah istimewa harus melalui kajian multidisiplin yang melibatkan aspek hukum tata negara, antropologi budaya, administrasi publik, dan ekonomi politik.
Dalam konteks hukum tata negara, pengajuan status istimewa bisa melalui revisi UU Provinsi Bali yang ada sekarang, atau melalui UU tersendiri tentang Keistimewaan Bali, seperti halnya UU Keistimewaan DIY.
Salah satu muatan penting dalam UU Keistimewaan Bali harus mengatur kewenangan pengelolaan pendidikan berbasis kearifan lokal. Sekolah-sekolah di Bali harus diberi ruang untuk mengembangkan kurikulum berbasis nilai-nilai Hindu Bali.
Di bidang pertanahan dan tata ruang, Bali memerlukan regulasi khusus yang memberi otoritas lebih besar kepada desa adat dalam menjaga tanah-tanah ulayat serta wilayah suci (kawasan pura dan tempat ritual).
Selain itu, keistimewaan Bali juga harus mencakup mekanisme pembiayaan khusus. Pendanaan desa adat, pelestarian budaya, dan pengembangan pendidikan berbasis tradisi memerlukan dukungan fiskal negara.
Otoritas pengelolaan pariwisata juga harus dikembalikan ke tangan masyarakat Bali melalui kelembagaan adat. Industri pariwisata tidak boleh hanya menjadi instrumen ekonomi semata, tapi harus mengedepankan prinsip spiritual dan keberlanjutan.
Reformasi birokrasi di Bali juga perlu diarahkan pada harmonisasi antara sistem pemerintahan formal dan sistem adat. Pegawai pemerintahan hendaknya memiliki pengetahuan dan kesadaran budaya lokal yang tinggi.
Pengaturan keistimewaan Bali tidak berarti diskriminasi terhadap daerah lain. Ini adalah bentuk keadilan konstitusional dalam rangka merespons pluralitas yang telah diakui dalam konstitusi.
Di tengah krisis identitas dan serbuan budaya luar, Bali adalah contoh langka dari keberhasilan membangun peradaban lokal yang tahan uji zaman. Negara harus hadir untuk memperkuatnya, bukan melarutkannya.
Bali tidak meminta keistimewaan karena alasan ekonomi, tetapi karena tanggung jawab sejarah dan budaya untuk menjaga warisan leluhur yang tidak ternilai.
Wacana ini bukan semata romantisme identitas, tetapi berangkat dari realitas sosial yang terus berkembang dan semakin kompleks. Modernitas harus bersanding dengan spiritualitas, bukan meniadakannya.
Penguatan status keistimewaan Bali juga dapat memperkuat posisi diplomasi budaya Indonesia di forum internasional. Bali telah lama menjadi wajah Indonesia di mata dunia.
Implementasi keistimewaan Bali harus tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Loyalitas Bali terhadap NKRI tidak perlu diragukan, tetapi negara juga wajib memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya.
Langkah awal untuk mengkongkretkan status keistimewaan Bali adalah membentuk tim kajian independen yang terdiri dari akademisi, pemuka adat, tokoh agama, dan praktisi hukum.
Hasil kajian tersebut harus disusun menjadi naskah akademik dan draf RUU Keistimewaan Bali yang akan diajukan kepada DPR RI dan pemerintah pusat untuk dibahas secara legislasi.
Pendekatan partisipatif juga penting dilakukan. Masyarakat Bali harus dilibatkan secara luas dalam proses perumusan visi dan misi keistimewaan Bali.
Pemerintah daerah dan desa adat bisa memulai simulasi kebijakan yang bersifat afirmatif terhadap nilai-nilai lokal, meski belum diakui secara nasional, sebagai bentuk praksis dari cita-cita keistimewaan.
Pemuda dan generasi muda Bali harus didorong menjadi agen pelestari nilai adat dan agama. Tanpa keterlibatan mereka, keistimewaan akan menjadi slogan tanpa isi.
Dalam proses legislasi, penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia tidak diabaikan. Keistimewaan bukan berarti antikemajuan.
Strategi advokasi ke pusat pemerintahan harus dilakukan secara sistematis, tidak bersifat politis sesaat. Wacana ini harus terus digaungkan dalam forum akademik, media massa, hingga lembaga internasional.
Pemerintah pusat juga perlu menyadari bahwa keistimewaan Bali bukanlah beban, melainkan investasi budaya nasional jangka panjang.
Kesalahan besar jika negara memaksakan homogenisasi dalam pengelolaan daerah. Indonesia dibangun dari keberagaman, dan keistimewaan adalah sarana menjaga integrasi tersebut.
Bali telah membuktikan bahwa tradisi tidak harus bertentangan dengan pembangunan. Bahkan, keberhasilan pariwisata Bali tak lepas dari kearifan lokal dan nilai-nilai adat yang hidup.
Keistimewaan Bali harus menjadi model baru pengelolaan daerah berbasis budaya. Jika berhasil, hal ini bisa menjadi preseden bagi daerah lain dengan karakteristik serupa.
Dengan mengkongkretkan status Daerah Istimewa Bali, negara sesungguhnya sedang mengamalkan Pancasila dan konstitusi secara autentik. Ini bukan hanya soal hak Bali, tapi kewajiban moral dan historis bangsa Indonesia.
Sumber :Gus Beng
Comments0