TpC6TpY8TfW5GSM5GfAiGfApBA==

Melegalkan korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia sebagai salah satu langkah meminimalisirnya.




Bali, Polemik. Id
“Melegalkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia sebagai Salah Satu Langkah Meminimalisir Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Itu Sendiri”, merupakan provokasi intelektual yang sengaja digunakan untuk membuka diskusi kritis mengenai fenomena KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang membudaya dalam sistem birokrasi dan politik di Indonesia. 

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia. Sejak era reformasi, pemberantasan KKN menjadi janji utama hampir setiap rezim pemerintahan. Namun, ironi terjadi ketika KKN tetap mengakar kuat dalam sistem birokrasi, politik, dan ekonomi. Banyak pihak mulai bertanya-tanya, apakah pemberantasan KKN benar-benar memungkinkan dalam sistem yang justru memelihara praktik tersebut secara terselubung?

Ide provokatif tentang “melegalkan KKN” mungkin terdengar absurd dan kontraproduktif. Namun dalam studi sosial-politik, provokasi intelektual kerap digunakan untuk menelanjangi hipokrisi dalam sistem. Gagasan ini perlu dilihat bukan sebagai dorongan literal untuk membolehkan kejahatan, melainkan sebagai kaca pembesar terhadap realitas bahwa dalam banyak kasus, KKN telah dilegalkan secara tidak langsung melalui celah hukum dan kebijakan yang manipulatif.

Ketika praktik korupsi dilegalkan dalam bentuk tunjangan, insentif, atau mark-up anggaran dengan restu regulasi, bukankah itu juga bentuk legalisasi korupsi? Ketika pejabat menunjuk sanak keluarga dalam jabatan strategis dengan alasan "kompetensi", padahal tidak melalui mekanisme terbuka, bukankah itu nepotisme yang dilegalkan secara birokratis?

Masyarakat sudah lelah dengan janji anti-KKN yang setiap tahun digemakan tanpa hasil nyata. Muncul pertanyaan: mungkinkah justru dengan melegalkan KKN secara terbuka, kita bisa mengendalikannya secara sistemik? Analoginya seperti mengatur perdagangan narkoba yang liar dengan legalisasi dan regulasi ketat: bukan untuk mempromosikannya, tetapi untuk mencabutnya dari ruang gelap dan tak terpantau.

Dengan melegalkan sebagian bentuk “KKN” dalam konteks terbatas dan terukur, negara bisa menggeser praktik ilegal menjadi aktivitas yang terpantau, terdokumentasi, dan dapat dikenai pajak atau sanksi administratif. Dalam kerangka ini, "melegalkan" tidak berarti membenarkan secara moral, tetapi mengatur dan menyesuaikannya dalam struktur sosial dan hukum.

Korupsi kecil yang terjadi di level bawah, seperti pungli atau gratifikasi ringan, seringkali muncul karena rendahnya gaji dan tekanan sistemik. Jika negara menyediakan mekanisme legal bagi pelayan publik untuk mendapatkan tambahan penghasilan secara terbuka—misalnya melalui bonus kinerja atau jasa profesional—maka tekanan untuk korupsi bisa menurun drastis.

Kolusi yang sering terjadi dalam pengadaan proyek negara pun bisa "dilegalkan" dalam bentuk kemitraan strategis terbuka antara pemerintah dan pihak swasta dengan syarat transparansi penuh. Artinya, daripada bermain di belakang layar, lebih baik membuka peluang secara resmi untuk aktor-aktor tertentu bersaing secara sehat namun dengan relasi yang jelas dan legal.

Nepotisme juga dapat dikontrol melalui kebijakan affirmative action atau kuota keluarga pejabat dalam posisi publik, tetapi dengan seleksi ketat dan sistem merit. Jika anak pejabat memang memiliki kompetensi, maka berikan ruang, namun dengan prosedur yang transparan dan akuntabel. Ini lebih baik daripada menyembunyikan nepotisme di balik formalitas seleksi semu.

Pendekatan ini juga menantang asumsi klasik bahwa segala bentuk KKN adalah mutlak buruk. Dalam realitas sosial, banyak birokrasi tradisional di negara berkembang yang justru bergantung pada relasi patron-klien, koneksi kekeluargaan, dan loyalitas pribadi. Dalam konteks ini, “nepotisme” tidak selalu berarti ketidakadilan, tapi bisa menjadi mekanisme distribusi kepercayaan.

Namun tentu saja, legalisasi sebagian bentuk KKN hanya dapat dilakukan jika disertai dengan transparansi total, sistem pengawasan yang kuat, dan akuntabilitas publik. Tanpa elemen-elemen ini, wacana legalisasi justru bisa memperparah pembusukan sistem.

Langkah pertama adalah memetakan jenis KKN yang paling sulit diberantas karena sudah menjadi "norma" sosial. Dari situ, negara bisa memilih untuk merancang kerangka hukum yang mampu mengatur, bukan menolak mentah-mentah keberadaan praktik-praktik itu.

Pendekatan ini juga menuntut pergeseran paradigma hukum dari yang sifatnya represif menjadi restoratif. Bukan hanya menghukum pelaku, tapi juga membangun sistem yang mencegah niat dan peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Model seperti ini pernah dicoba di beberapa negara Skandinavia dan Afrika dengan pendekatan berbeda. Di Norwegia, misalnya, keterbukaan gaji pejabat dan sistem bonus kinerja mampu menurunkan godaan korupsi. Sementara di Kenya, beberapa kebijakan formal memberi ruang koneksi keluarga dalam politik lokal secara terbuka, namun tetap dalam batas regulasi.

Jika Indonesia serius ingin mengurangi KKN, maka perlu keluar dari jebakan slogan kosong. Kita harus berani mengevaluasi mana praktik yang bisa dikonversi menjadi legal demi pengawasan, dan mana yang harus tetap dilarang keras karena merusak struktur keadilan sosial.

Penolakan mentah terhadap gagasan ini hanya akan membuat kita terus terjebak dalam lingkaran setan: KKN tetap subur, tetapi tersembunyi di balik retorika anti-KKN yang memukau publik namun hampa implementasi.

Perlu ditegaskan, legalisasi bukan solusi tunggal, melainkan bagian dari strategi besar transformasi sistem tata kelola pemerintahan. Ia harus berdampingan dengan reformasi birokrasi, digitalisasi layanan publik, pendidikan integritas, dan peran aktif masyarakat sipil.

Penataan ulang sistem politik dan birokrasi juga harus memberi insentif pada kejujuran dan kinerja, bukan hanya kepatuhan administratif. Sistem yang menghargai hasil nyata dan inovasi akan membuat pelaku KKN sulit bertahan karena mereka kalah bersaing dalam sistem merit.

Gagasan melegalkan KKN mungkin tidak akan pernah diterima secara resmi. Namun sebagai narasi alternatif, ia mampu membuka ruang diskusi yang lebih jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar kekuasaan dan bagaimana kita sebaiknya menanggapinya.

Sudah saatnya bangsa ini berhenti hidup dalam kepura-puraan. Jika sistem selama ini terus melanggengkan KKN secara sembunyi-sembunyi, maka pendekatan baru yang berani dan radikal perlu dipertimbangkan. Termasuk dengan mengatur ulang definisi, ruang lingkup, dan bentuk legal dari praktik-praktik yang selama ini dicap tabu.

Kesimpulannya, melegalkan sebagian bentuk KKN bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah strategis untuk menciptakan transparansi dan mempersempit ruang gelap korupsi. Hanya dengan pendekatan sistemik, jujur, dan realistis, kita bisa benar-benar meminimalisir praktik KKN, bukan hanya dalam wacana, tapi dalam realitas sehari-hari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jembrana, 14 Juni 2025
Pukul 21.30 Wita

Sumber : Gus Benk

Butet

Comments0

Type above and press Enter to search.